FIKIH LENGKAP SHALAT WITIR


1.    Pengertian Shalat Witir


Shalat witir artinya, 

 

صَلاَةُ الْوِتْرِ، وَهِيَ صَلاَةٌ تُفْعَل مَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ وَطُلُوعِ الْفَجْرِ، تُخْتَمُ بِهَا صَلاَةُ اللَّيْل، سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لأَِنَّهَا تُصَلَّى وِتْرًا

 

"Shalat yang waktu pelaksanaannya di antara shalat isya' hingga terbitnya fajar, dikerjakan sebagai penutup shalat malam. Dinamakan sebagai shalat witir karena pelaksanaannya dilakukan dengan jumlah raka'at witir (ganjil)." (Al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, XXVII/289) 

 

Definisi ini sengaja disebutkan agar tidak dikira bahwa, shalat witir ialah shalat khusus yang dikerjakan setelah tarawih. Bahkan shalat witir ialah shalat yang menjadi penutup shalat malam di sepanjang tahun. 

 

2.    Keutamaan Shalat Witir


Banyak dari kita telah mengetahui bahwa shalat witir ialah penutup dari shalat malam atau shalat tarawih (shalat malam yang dikerjakan diwaktu Ramadhan). Meski pada pelaksanaan shalat tarawih umumnya shalat witir dikerjakan secara langsung setelah tarawih, tapi sebenarnya shalat tarawih, dan witir ialah dua shalat yang berbeda. 

 

Shalat witir memiliki keutamaan yang lebih daripada shalat tarawih.

 

Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah berkata, 

 

والصَّحيحُ: أَنَّ الوِترَ مقدَّمٌ عليها، وعلى الاستسقاء؛ لأنَّ الوِتر أَمَرَ به وداوم عليه النَّبيُّ صلّى الله عليه وسلّم، حتى قال بعضُ أهلِ العِلمِ: إنَّ الوِترَ واجبٌ

 

"Pendapat yang benar bahwa shalat witir lebih utama daripada tarawih dan istisqa' (shalat meminta hujan), karena shalat witir diperintahkan oleh Nabi dan beliau ﷺ senantiasa mengerjakannya. Sampai-sampai sebagian ulama ada yang mengatakan hukumnya wajib." (Asy-Syarh al-Mumti', IV/10) 

 

Di antara hadits yang menunjukkan keistimewaan shalat witir, ialah sabda Nabi Muhammad ﷺ, 

 

إنَّ اللهَ قد أمَدَّكم بصلاةٍ، وهي خيرٌ لكم مِن حُمْرِ النَّعَمِ، وهي الوِترُ، فجعَلَها لكم فيما بينَ العِشاءِ إلى طُلوعِ الفَجرِ

 

"Sesungguhnya Allah telah memberi untuk kalian suatu shalat yang lebih baik bagi kalian daripada memiliki unta merah, yaitu shalat witir. Allah tetapkan pelaksanaannya antara shalat isya sampai terbitnya fajar." Shahih li ghairihi (Sunan Abi Dawud, II/558, Daar ar-Risalah) HR. At-Tirmidzi (452), Abu Dawud (1418), Ibnu Majah (1168).

 

Asy-Syaikh Abdullah al-Bassam rahimahullah berkata,

 

فضل صلاة الوتر، وأنَّها تعدل في قيمتها وغلائها أفضل أموال العرب، وهي الإبل الحمر، وما هو إلاَّ مثال تقريبي من النبي -صلى الله عليه وسلم- لأصحابه فيما يعرفون من نفائس الحياة، وفيما هو أغلى في النفس من المال، وإلاَّ فإنَّ متاع الدنيا كلها قليل بجانب الآخرة

 

"Hadits ini menunjukkan keutamaan shalat witir dan penjelasan bahwa shalat witir dalam hal nilai, dan mahalnya itu sebanding dengan harta orang Arab yang paling mahal, yaitu unta merah. Ini hanyalah pendekatan yang dibuat oleh Nabi Muhammad ﷺ untuk para sahabat dengan menggunakan sesuatu yang mereka ketahui berupa perkara yang sangat berharga di kehidupan dan harta yang termahal, karena sebenarnya seluruh perhiasan dunia amatlah sedikit jika dibandingkan dengan akhirat." (Taudhih al-Ahkam, II/405)

 

Terkait hadits ini pula, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata (yang artinya),

 

"(Sabda Nabi ﷺ) 'yang lebih baik bagi kalian daripada memiliki unta merah' makna hadits ini bahwa shalat witir lebih baik dari dunia dan seisinya, karena harta benda ialah sesuatu yang paling bernilai yang ada di muka bumi.  Apabila shalat witir lebih baik dari jenis harta yang sangat berharga (unta merah) maka berarti dia lebih baik dari dunia dan seisinya. Nabi hanyalah ingin melakukan pendekatan dengan contoh, karena hakikatnya, telah diketahui bahwa tidak bisa dibandingkan antara pahala akhirat dan harta benda yang ada di dunia, perbedaannya sangat jauh." (Tashil al-Ilmam, II/374)

 

3.    Jumlah Raka'at dalam Shalat Witir


Dalam hadits-hadits yang shahih kita temukan bahwa shalat witir bisa dengan;

 

a. 1 raka'at [HR. Al-Bukhari (993) dan Muslim (749)],

b. 3 raka'at [HR. Al-Bukhari (1147) dan Muslim (738)] 

c. 5 raka'at [HR. Muslim (737)],

d. 7 raka'at [HR. Muslim (746)], dan

e. 9 raka'at [HR. Muslim (746)].

 

Karena pembahasan witir ini hanya penyempurna dari pembahasan shalat tarawih, maka kita hanya membahas tentang shalat witir dengan tiga raka'at. Karena jumlah ini yang paling banyak dilakukan sebagai penutup shalat tarawih. 

 

Pelaksanaan shalat witir tiga raka'at dapat dilakukan dengan 2 cara;

 

a.    Dilakukan sekaligus tiga raka'at, duduk tahiyat hanya  
       dilakukan sekali, yaitu di raka'at ketiga. Dengan dasar,

 

 1) Hadits Ubay bin Ka'ab radhiyallahu 'anhu, beliau berkata,

 

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْوِتْرِ بِـ { سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى }، وَفِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ بِـ { قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ }، وَفِي الثَّالِثَةِ بِـ { قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ }، وَلَا يُسَلِّمُ إِلَّا فِي آخِرِهِنَّ

 

"Rasulullah ﷺ di shalat witir membaca surat al-A'la (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى), raka'at kedua surat al-Kafirun (قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ), dan raka'at ketiga surat al-Ikhlas (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَد). Dan beliau tidak salam kecuali di raka'at terakhir." Shahih (Shahih an-Nasa'i) HR. An-Nasa'i (1701)

 

2) Al-Miswar bin Makhramah radhiyallahu 'anhu berkata,

 

فَصَلَّى بِنَا ثَلَاثَ رَكَعَاتٍ، لَمْ يُسَلِّمْ إِلَّا فِي آخِرِهِنَّ

 

"Umar mengimami kami shalat witir tiga raka'at dan beliau tidak salam kecuali di rakaat terakhir." Sanadnya shahih, diriwayatkan oleh ath-Thahawi (Syarah Ma'ani al-Atsar, 1742)

 

3) Tsabit al-Bunani rahimahullah berkata tentang Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu,

 

أَنَّهُ أَوْتَرَ بِثَلَاثٍ لَمْ يُسَلِّمْ إِلَّا فِي آخِرِهِنَّ 

 

"Beliau (Anas) shalat witir tiga raka'at dan tidak salam kecuali di raka'at terakhir." Sanadnya shahih, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (6840)

 

b.   Dilakukan dengan dua kali salam. Di raka'at kedua duduk
      tahiyat lalu salam. Kemudian shalat lagi satu raka'at dan
      salam.

 

1) Dengan dasar hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata,

 

 أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم كان يفصِلُ بينَ الشَّفعِ والوِتْرِ

 

"Rasulullah ﷺ shalat dengan memisahkan antara raka'at yang genap dan ganjil." Shahih (Al-Irwa', 327) HR. Ibnu Hibban (2433)

 

2) Dari Nafi' rahimahullah,

 

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يُسَلِّمُ بَيْنَ الرَّكْعَتَيْنِ وَالرَّكْعَةِ فِي الْوِتْرِ

 

"Sesungguhnya Abdullah bin Umar salam di antara dua raka'at dan satu raka'at shalat witir." Diriwayatkan Malik (Al-Muwattha, 326)

 

Kedua cara ini ialah sunnah.

 

3) Berkata Imam Ibnul Mundzir rahimahullah,

 

وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ فِي الْفَصْلِ بَيْنَ الرَّكْعَتَيْنِ وَالرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ: إِنْ فَعَلَ فَحَسَنٌ وَإِنْ تَرَكَهُ لَمْ يَفْعَلْ فَحَسَنٌ

 

"Al-Auza'i mengatakan tentang memisahkan antara dua raka'at dan satu raka'at terakhir shalat witir, 'Jika dia pisahkan maka itu baik jika dia tidak lakukan (dikerjakan sekaligus) maka itu juga baik." (Al-Ausath, V/186)

 

4) Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

 

وإذا أوتر بثلاث فهو مخير إن شاء وصلها جميعاً بتشهد واحد، وإن شاء صلى ركعتين ثم أتى بواحدة فكل ذلك سنة 

"Jika seseorang witir tiga raka'at maka dia diberi keleluasaan. Jika ingin boleh mengerjakannya sekaligus dengan satu tahiyat. Dan jika dia ingin bisa mengerjakan dua raka'at (kemudian salam) lalu tambah satu raka'at. Kedua cara ini sunnah." (Fatawa Nur 'alad Darb, kaset no. 335)

 

4.   Surat yang Dibaca


Dari Ubay bin Ka'ab radhiyallahu 'anhu berkata, 
 

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى مِنَ الْوِتْرِ بِـ { سَبِّحِ
 اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى }، وَفِي الثَّانِيَةِ بِـ { قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ }، وَفِي الثَّالِثَةِ بِـ { قُلْ
 هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ }.

 

"Rasulullah ﷺ membaca di raka'at pertama shalat witir surat al-A'la (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى), raka'at kedua surat al-Kafirun (قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ), dan raka'at ketiga surat al-ikhlas (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَد)." Shahih, HR. Abu Dawud (1423), an-Nasa'i (1700) dan ini lafazh beliau, Ibnu Majah (1171)


Dari hadits ini ulama mengambil hukum sunnah untuk membaca surah-surah ini di shalat witir. Dan baik juga apabila dia tidak membacanya terus menerus. 


Asy-Syaikh Abdullah al-Bassam rahimahullah menjelaskan, 


الأفضل عدم المداومة على هذه السور؛ لئلا يظن العامة وجوبها، فترك الفاضل أحيانًا لبيان الحكم، أفضل من المداومة عليه؛ لأنَّ تعليم الناس أمرَ دينهم من أفضل الأعمال


"Yang afdal (yang lebih utama/lebih baik) tidak terus-menerus dalam membaca surah-surah ini, agar orang-orang tidak mengira bahwa hukumnya wajib. Meninggalkan sesuatu yang utama di sebagian waktu untuk menerangkan hukumnya lebih utama daripada mengerjakannya terus-menerus. Karena mengajari manusia tentang agama termasuk seutama-utama amalan." (Taudhih al-Ahkam, II/430)


5.    Bacaan setelah Shalat Witir


Ubay bin Ka'ab radhiyallahu 'anhu berkata, 


فَإِذَا فَرَغَ، قَالَ: عِنْدَ فَرَاغِهِ: «سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ يُطِيلُ فِي آخِرِهِنَّ 


"Ketika Nabi ﷺ selesai dari shalat witirnya, sehabis salam beliau mengucapkan, (سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوس) Maha suci (Engkau Ya Allah) Raja Yang Maha suci, sebanyak tiga kali dan beliau memanjangkannya pada bacaan yang ketiga." Shahih (Ghayah al-Muna, XVIII/67) HR. An-Nasa'i (1699)


Asy-Syaikh Muhammad Ali Adam al-Ityubi menyatakan, 


والحديث فيه سنية الجهر بهذا الذكر في المرّة الثالثة


"Dalam hadits di atas terdapat penetapan sunnahnya mengeraskan dzikir ini pada bacaan yang ketiga." (Ghayah al-Muna, XVIII/68)


6.    Qunut Witir


Al-Hasan bin Ali radhiyallahu 'anhuma berkata, 


عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي قُنُوتِ الْوِتْرِ: «اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ، إِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ» 


"Rasulullah ﷺ mengajari saya kalimat-kalimat untuk saya baca pada qunut witir,


“Ya Allah, berilah aku hidayah bersama orang-orang yang Engkau beri hidayah; berilah aku keselamatan dunia akhirat bersama orang-orang yang Engkau beri keselamatan dunia akhirat; perhatikan dan jagalah urusan-urusanku bersama orang-orang yang Engkau perhatikan dan jaga urusannya; berkahilah aku pada apa saja yang yang Engkau berikan; jagalah aku dari kejelekan apa saja yang Engkau tetapkan; sesungguhnya tidak akan hina orang yang menjadi wali-Mu (dalam penjagaan dan pertolongan-Mu) dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi; Mahaberkah Engkau, wahai Rabb kami, lagi Mahatinggi.” Shahih (Ghayah al-Muna, XVIII/118) HR. Abu Dawud (1425), at-Tirmidzi (464), an-Nasa’i (1745), Ibnu Majah (1178), Ahmad (1718)


Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah mengatakan (yang artinya),


"Hadits ini menunjukkan disyariatkannya qunut pada shalat witir. Berdasarkan pernyataan al-Hasan, 'kalimat-kalimat untuk saya baca pada qunut witir'. 


Akan tetapi apakah ada riwayat bahwa nabi melakukan qunut pada shalat witir? Jawabnya, tidak ada. Namun ketika beliau mengajarkan kepada Al-Hasan radhiyallahu 'anhu maka ini sudah cukup untuk menetapkan bahwa memang disyariatkan qunut witir. 


Bersama dengan itu, saya berpendapat untuk tidak dilakukan secara terus-menerus sampai kita mendapatkan hadits dengan ucapan dan juga secara perbuatan." (Fath Dzil Jalali wal Ikram, III/322)


Dan sebagian ulama memandang, bahwa qunut witir di malam ke 16 sampai akhir Ramadhan semakin ditekankan karena itu dilakukan berdasarkan perintah Umar bin Khatthab radhiyallahu 'anhu


Ibnu Juraij mengatakan, 


قُلْتُ لِعَطَاءٍ: الْقُنُوتُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ؟ قَالَ: عُمَرُ أَوَّلُ مَنْ قَنَتَ. قُلْتُ: النِّصْفُ الْآخِرُ؟ قَالَ: نَعَمْ.


"Saya bertanya kepada Atha’, 'Apakah qunut dilakukan pada bulan Ramadhan?' Beliau menjawab, 'Yang pertama kali melakukannya adalah Umar radhiallahu ‘anhu.' Ibnu Juraij berkata, 'Di pertengahan terakhir Ramadhan?' Atha’ menjawab, 'Ya.'" Hasan li ghairihi, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah


7.    Qunut Sebelum rukuk atau Setelah


Kedua-duanya boleh, karena keduanya memiliki dasar dalil. Tentang qunut sebelum rukuk, berkata Alqamah rahimahullah, 


أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ، وَأَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانُوا يَقْنُتُونَ فِي الْوَتْرِ قَبْلَ الرُّكُوعِ


"Sesungguhnya Ibnu Mas'ud dan para sahabat nabi mereka melakukan qunut witir sebelum rukuk." Sanadnya hasan, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (6911) 


Dan tentang qunut setelah rukuk, Al-Hasan rahimahullah berkata, 


أَنَّ أُبَيًّا أَمَّ النَّاسَ فِي خِلَافَةِ عُمَرَ فَصَلَّى بِهِمِ النِّصْفَ مِنْ رَمَضَانَ، لَا يَقْنُتُ فَلَمَّا مَضَى النِّصْفُ، قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ


"Ubay menjadi imam shalat tarawih di masa pemerintahan Umar, beliau menjadi imam sampai di pertengahan Ramadhan yang pertama dan beliau tidak qunut. Ketika sudah lewat pertengahan Ramadhan beliau melakukan qunut setelah rukuk." Hasan li ghairi, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (6935)


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga menerangkan, 


وَأَمَّا الْقُنُوتُ: فَالنَّاسُ فِيهِ طَرَفَانِ وَوَسَطٌ: مِنْهُمْ مَنْ لَا يَرَى الْقُنُوتَ إلَّا قَبْلَ الرُّكُوعِ وَمِنْهُمْ مَنْ لَا يَرَاهُ إلَّا بَعْدَهُ. وَأَمَّا فُقَهَاءُ أَهْلِ الْحَدِيثِ كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ فَيُجَوِّزُونَ كِلَا الْأَمْرَيْنِ لِمَجِيءِ السُّنَّةِ الصَّحِيحَةِ بِهِمَا. وَإِنْ اخْتَارُوا الْقُنُوتَ بَعْدَهُ؛ لِأَنَّهُ أَكْثَرُ وَأَقْيَسُ


"Dalam hal qunut (witir) ini manusia ada dua pendapat yang berseberangan dan ada satu yang pertengahan;

a. Ada yang berpendapat qunut hanya dilakukan sebelum rukuk, 

b. Ada juga yang berpendapat qunut hanya dilakukan setelah rukuk, 

c. Sedangkan para pakar fiqih ahli hadits seperti Ahmad dan yang lainnya mereka membolehkan kedua cara yang ada (sebelum ataupun sesudah rukuk). Karena keduanya ditunjukkan dalam hadits yang shahih. Meskipun mereka memilih (yang afdal) qunut setelah rukuk karena haditsnya lebih banyak dan lebih sesuai." (Majmu' al-Fatawa, XXIII/100)


Jika kita memilih yang afdal ialah setelah rukuk maka hendaklah tetap dilakukan juga yang sebelum rukuk dengan lebih jarang, dalam rangka terus menjalankan semua sunnah yang ada. Demikian pula bila kita memilih pendapat sebaliknya. 


8.    Mengangkat Tangan Sewaktu Qunut


Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, 


من السنة أن يرفع الإنسان يديه عند دعاء القنوت؛ لأن ذلك وارد عن رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في قنوته حين كان يقنت في الفرائض عند النوازل ، وكذلك صح عن أمير المؤمنين عمر بن الخطاب – رضي الله عنه – رفع اليدين في قنوت الوتر ، وهو أحد الخلفاء الراشدين الذين أمرنا باتباعهم 


"Termasuk sunnah jika seseorang mengangkat kedua tangannya pada saat doa qunut, sebab hal ini telah ada di hadits Rasulullah ﷺ pada saat beliau qunut nazilah di shalat wajib. Demikian juga shahih dari Amirul Mu'minin Umar bin Khatthab radhiyallahu 'anhu bahwa beliau mengangkat kedua tangannya di qunut witir, dan beliau ialah salah satu dari Khulafa'ur Rasyidin yang kita diperintahkan untuk mengikuti mereka." (Majmu' Fatawa wa Rasa'il, XIV/136) 


9.    Apakah Mengusap Wajah Setelahnya


Imam Abu Bakr al-Baihaqi rahimahullah menerangkan, 


فأَمّا مَسحُ اليَدَينِ بالوَجهِ عندَ الفَراغِ من الدُّعاءَ فلَستُ أحفَظُه عن أحَدٍ مِنَ السَّلَفِ فى دُعاءِ القُنوتِ، وإِن كان يُروَى عن بَعضِهِم فى الدُّعاءِ خارجَ الصَّلاةِ، وقَد رُوِى فيه عن النبىِّ -صلى اللَّه عليه وسلم- حَديثٌ فيه ضَعفٌ، وهو مُستَعمَلٌ عندَ بَعضهِم خارجَ الصَّلاةِ، وأما فى الصَّلاةِ فهوَ عَمَلٌ لم يَثبُتْ بخَبَرٍ صَحيحٍ ولا أثَرٍ ثابِتٍ ولا قياسٍ، فالأولَى ألَّا يَفعَلَه، ويَقتَصرَ على ما فعَلَه السَّلَفُ -رضي اللَّه عنهم- مِن رَفعِ اليَدَينِ دونَ مَسحِهِما بالوَجهِ فى الصَّلاةِ، وبِاللَّهِ التَّوفيقُ.


"Terkait masalah mengusap wajah dengan tangan ketika selesai berdoa maka saya tidak mengetahui satupun dari kalangan salaf (terdahulu) melakukannya di doa qunut. Benar ada riwayat dari sebagian mereka mengusap wajah sehabis berdoa di luar shalat, dan telah ada juga riwayat dari nabi hadits tentang ini namun memiliki kelemahan. 


Tapi menurut sebagian ulama itu dilakukan di luar shalat. Sedangkan di dalam shalat maka ini amalan yang tidak ada dasar dari hadits dan atsar yang shahih maupun kias. Sebaiknya tidak dilakukan dan mencukupkan dengan yang dilakukan oleh salaf, yaitu mengangkat tangan namun tanpa mengusapkan tangan ke wajah ketika di dalam shalat." (As-Sunan al-Kubro, IV/157)


Wallahu a’lam bish-shawab


Ditulis oleh Ustadz Hari Ahadi, Penggalan pembahasan Risalah Fushul fish Shiyam.

Sumber: http://www.nasehatetam.net

FIKIH LENGKAP SHALAT WITIR

 

FIKIH LENGKAP SHALAT WITIR


1.    Pengertian Shalat Witir


Shalat witir artinya, 

 

صَلاَةُ الْوِتْرِ، وَهِيَ صَلاَةٌ تُفْعَل مَا بَيْنَ صَلاَةِ الْعِشَاءِ وَطُلُوعِ الْفَجْرِ، تُخْتَمُ بِهَا صَلاَةُ اللَّيْل، سُمِّيَتْ بِذَلِكَ لأَِنَّهَا تُصَلَّى وِتْرًا

 

"Shalat yang waktu pelaksanaannya di antara shalat isya' hingga terbitnya fajar, dikerjakan sebagai penutup shalat malam. Dinamakan sebagai shalat witir karena pelaksanaannya dilakukan dengan jumlah raka'at witir (ganjil)." (Al-Mausu'ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, XXVII/289) 

 

Definisi ini sengaja disebutkan agar tidak dikira bahwa, shalat witir ialah shalat khusus yang dikerjakan setelah tarawih. Bahkan shalat witir ialah shalat yang menjadi penutup shalat malam di sepanjang tahun. 

 

2.    Keutamaan Shalat Witir


Banyak dari kita telah mengetahui bahwa shalat witir ialah penutup dari shalat malam atau shalat tarawih (shalat malam yang dikerjakan diwaktu Ramadhan). Meski pada pelaksanaan shalat tarawih umumnya shalat witir dikerjakan secara langsung setelah tarawih, tapi sebenarnya shalat tarawih, dan witir ialah dua shalat yang berbeda. 

 

Shalat witir memiliki keutamaan yang lebih daripada shalat tarawih.

 

Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah berkata, 

 

والصَّحيحُ: أَنَّ الوِترَ مقدَّمٌ عليها، وعلى الاستسقاء؛ لأنَّ الوِتر أَمَرَ به وداوم عليه النَّبيُّ صلّى الله عليه وسلّم، حتى قال بعضُ أهلِ العِلمِ: إنَّ الوِترَ واجبٌ

 

"Pendapat yang benar bahwa shalat witir lebih utama daripada tarawih dan istisqa' (shalat meminta hujan), karena shalat witir diperintahkan oleh Nabi dan beliau ﷺ senantiasa mengerjakannya. Sampai-sampai sebagian ulama ada yang mengatakan hukumnya wajib." (Asy-Syarh al-Mumti', IV/10) 

 

Di antara hadits yang menunjukkan keistimewaan shalat witir, ialah sabda Nabi Muhammad ﷺ, 

 

إنَّ اللهَ قد أمَدَّكم بصلاةٍ، وهي خيرٌ لكم مِن حُمْرِ النَّعَمِ، وهي الوِترُ، فجعَلَها لكم فيما بينَ العِشاءِ إلى طُلوعِ الفَجرِ

 

"Sesungguhnya Allah telah memberi untuk kalian suatu shalat yang lebih baik bagi kalian daripada memiliki unta merah, yaitu shalat witir. Allah tetapkan pelaksanaannya antara shalat isya sampai terbitnya fajar." Shahih li ghairihi (Sunan Abi Dawud, II/558, Daar ar-Risalah) HR. At-Tirmidzi (452), Abu Dawud (1418), Ibnu Majah (1168).

 

Asy-Syaikh Abdullah al-Bassam rahimahullah berkata,

 

فضل صلاة الوتر، وأنَّها تعدل في قيمتها وغلائها أفضل أموال العرب، وهي الإبل الحمر، وما هو إلاَّ مثال تقريبي من النبي -صلى الله عليه وسلم- لأصحابه فيما يعرفون من نفائس الحياة، وفيما هو أغلى في النفس من المال، وإلاَّ فإنَّ متاع الدنيا كلها قليل بجانب الآخرة

 

"Hadits ini menunjukkan keutamaan shalat witir dan penjelasan bahwa shalat witir dalam hal nilai, dan mahalnya itu sebanding dengan harta orang Arab yang paling mahal, yaitu unta merah. Ini hanyalah pendekatan yang dibuat oleh Nabi Muhammad ﷺ untuk para sahabat dengan menggunakan sesuatu yang mereka ketahui berupa perkara yang sangat berharga di kehidupan dan harta yang termahal, karena sebenarnya seluruh perhiasan dunia amatlah sedikit jika dibandingkan dengan akhirat." (Taudhih al-Ahkam, II/405)

 

Terkait hadits ini pula, asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah berkata (yang artinya),

 

"(Sabda Nabi ﷺ) 'yang lebih baik bagi kalian daripada memiliki unta merah' makna hadits ini bahwa shalat witir lebih baik dari dunia dan seisinya, karena harta benda ialah sesuatu yang paling bernilai yang ada di muka bumi.  Apabila shalat witir lebih baik dari jenis harta yang sangat berharga (unta merah) maka berarti dia lebih baik dari dunia dan seisinya. Nabi hanyalah ingin melakukan pendekatan dengan contoh, karena hakikatnya, telah diketahui bahwa tidak bisa dibandingkan antara pahala akhirat dan harta benda yang ada di dunia, perbedaannya sangat jauh." (Tashil al-Ilmam, II/374)

 

3.    Jumlah Raka'at dalam Shalat Witir


Dalam hadits-hadits yang shahih kita temukan bahwa shalat witir bisa dengan;

 

a. 1 raka'at [HR. Al-Bukhari (993) dan Muslim (749)],

b. 3 raka'at [HR. Al-Bukhari (1147) dan Muslim (738)] 

c. 5 raka'at [HR. Muslim (737)],

d. 7 raka'at [HR. Muslim (746)], dan

e. 9 raka'at [HR. Muslim (746)].

 

Karena pembahasan witir ini hanya penyempurna dari pembahasan shalat tarawih, maka kita hanya membahas tentang shalat witir dengan tiga raka'at. Karena jumlah ini yang paling banyak dilakukan sebagai penutup shalat tarawih. 

 

Pelaksanaan shalat witir tiga raka'at dapat dilakukan dengan 2 cara;

 

a.    Dilakukan sekaligus tiga raka'at, duduk tahiyat hanya  
       dilakukan sekali, yaitu di raka'at ketiga. Dengan dasar,

 

 1) Hadits Ubay bin Ka'ab radhiyallahu 'anhu, beliau berkata,

 

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الْوِتْرِ بِـ { سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى }، وَفِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ بِـ { قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ }، وَفِي الثَّالِثَةِ بِـ { قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ }، وَلَا يُسَلِّمُ إِلَّا فِي آخِرِهِنَّ

 

"Rasulullah ﷺ di shalat witir membaca surat al-A'la (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى), raka'at kedua surat al-Kafirun (قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ), dan raka'at ketiga surat al-Ikhlas (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَد). Dan beliau tidak salam kecuali di raka'at terakhir." Shahih (Shahih an-Nasa'i) HR. An-Nasa'i (1701)

 

2) Al-Miswar bin Makhramah radhiyallahu 'anhu berkata,

 

فَصَلَّى بِنَا ثَلَاثَ رَكَعَاتٍ، لَمْ يُسَلِّمْ إِلَّا فِي آخِرِهِنَّ

 

"Umar mengimami kami shalat witir tiga raka'at dan beliau tidak salam kecuali di rakaat terakhir." Sanadnya shahih, diriwayatkan oleh ath-Thahawi (Syarah Ma'ani al-Atsar, 1742)

 

3) Tsabit al-Bunani rahimahullah berkata tentang Anas bin Malik radhiyallahu 'anhu,

 

أَنَّهُ أَوْتَرَ بِثَلَاثٍ لَمْ يُسَلِّمْ إِلَّا فِي آخِرِهِنَّ 

 

"Beliau (Anas) shalat witir tiga raka'at dan tidak salam kecuali di raka'at terakhir." Sanadnya shahih, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (6840)

 

b.   Dilakukan dengan dua kali salam. Di raka'at kedua duduk
      tahiyat lalu salam. Kemudian shalat lagi satu raka'at dan
      salam.

 

1) Dengan dasar hadits Ibnu Umar radhiyallahu 'anhuma, beliau berkata,

 

 أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم كان يفصِلُ بينَ الشَّفعِ والوِتْرِ

 

"Rasulullah ﷺ shalat dengan memisahkan antara raka'at yang genap dan ganjil." Shahih (Al-Irwa', 327) HR. Ibnu Hibban (2433)

 

2) Dari Nafi' rahimahullah,

 

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عُمَرَ كَانَ يُسَلِّمُ بَيْنَ الرَّكْعَتَيْنِ وَالرَّكْعَةِ فِي الْوِتْرِ

 

"Sesungguhnya Abdullah bin Umar salam di antara dua raka'at dan satu raka'at shalat witir." Diriwayatkan Malik (Al-Muwattha, 326)

 

Kedua cara ini ialah sunnah.

 

3) Berkata Imam Ibnul Mundzir rahimahullah,

 

وَقَالَ الْأَوْزَاعِيُّ فِي الْفَصْلِ بَيْنَ الرَّكْعَتَيْنِ وَالرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ: إِنْ فَعَلَ فَحَسَنٌ وَإِنْ تَرَكَهُ لَمْ يَفْعَلْ فَحَسَنٌ

 

"Al-Auza'i mengatakan tentang memisahkan antara dua raka'at dan satu raka'at terakhir shalat witir, 'Jika dia pisahkan maka itu baik jika dia tidak lakukan (dikerjakan sekaligus) maka itu juga baik." (Al-Ausath, V/186)

 

4) Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan,

 

وإذا أوتر بثلاث فهو مخير إن شاء وصلها جميعاً بتشهد واحد، وإن شاء صلى ركعتين ثم أتى بواحدة فكل ذلك سنة 

"Jika seseorang witir tiga raka'at maka dia diberi keleluasaan. Jika ingin boleh mengerjakannya sekaligus dengan satu tahiyat. Dan jika dia ingin bisa mengerjakan dua raka'at (kemudian salam) lalu tambah satu raka'at. Kedua cara ini sunnah." (Fatawa Nur 'alad Darb, kaset no. 335)

 

4.   Surat yang Dibaca


Dari Ubay bin Ka'ab radhiyallahu 'anhu berkata, 
 

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقْرَأُ فِي الرَّكْعَةِ الْأُولَى مِنَ الْوِتْرِ بِـ { سَبِّحِ
 اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى }، وَفِي الثَّانِيَةِ بِـ { قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ }، وَفِي الثَّالِثَةِ بِـ { قُلْ
 هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ }.

 

"Rasulullah ﷺ membaca di raka'at pertama shalat witir surat al-A'la (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى), raka'at kedua surat al-Kafirun (قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ), dan raka'at ketiga surat al-ikhlas (قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَد)." Shahih, HR. Abu Dawud (1423), an-Nasa'i (1700) dan ini lafazh beliau, Ibnu Majah (1171)


Dari hadits ini ulama mengambil hukum sunnah untuk membaca surah-surah ini di shalat witir. Dan baik juga apabila dia tidak membacanya terus menerus. 


Asy-Syaikh Abdullah al-Bassam rahimahullah menjelaskan, 


الأفضل عدم المداومة على هذه السور؛ لئلا يظن العامة وجوبها، فترك الفاضل أحيانًا لبيان الحكم، أفضل من المداومة عليه؛ لأنَّ تعليم الناس أمرَ دينهم من أفضل الأعمال


"Yang afdal (yang lebih utama/lebih baik) tidak terus-menerus dalam membaca surah-surah ini, agar orang-orang tidak mengira bahwa hukumnya wajib. Meninggalkan sesuatu yang utama di sebagian waktu untuk menerangkan hukumnya lebih utama daripada mengerjakannya terus-menerus. Karena mengajari manusia tentang agama termasuk seutama-utama amalan." (Taudhih al-Ahkam, II/430)


5.    Bacaan setelah Shalat Witir


Ubay bin Ka'ab radhiyallahu 'anhu berkata, 


فَإِذَا فَرَغَ، قَالَ: عِنْدَ فَرَاغِهِ: «سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوسِ». ثَلاَثَ مَرَّاتٍ يُطِيلُ فِي آخِرِهِنَّ 


"Ketika Nabi ﷺ selesai dari shalat witirnya, sehabis salam beliau mengucapkan, (سُبْحَانَ الْمَلِكِ الْقُدُّوس) Maha suci (Engkau Ya Allah) Raja Yang Maha suci, sebanyak tiga kali dan beliau memanjangkannya pada bacaan yang ketiga." Shahih (Ghayah al-Muna, XVIII/67) HR. An-Nasa'i (1699)


Asy-Syaikh Muhammad Ali Adam al-Ityubi menyatakan, 


والحديث فيه سنية الجهر بهذا الذكر في المرّة الثالثة


"Dalam hadits di atas terdapat penetapan sunnahnya mengeraskan dzikir ini pada bacaan yang ketiga." (Ghayah al-Muna, XVIII/68)


6.    Qunut Witir


Al-Hasan bin Ali radhiyallahu 'anhuma berkata, 


عَلَّمَنِي رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - كَلِمَاتٍ أَقُولُهُنَّ فِي قُنُوتِ الْوِتْرِ: «اللَّهُمَّ اهْدِنِي فِيمَنْ هَدَيْتَ، وَعَافِنِي فِيمَنْ عَافَيْتَ، وَتَوَلَّنِي فِيمَنْ تَوَلَّيْتَ، وَبَارِكْ لِي فِيمَا أَعْطَيْتَ، وَقِنِي شَرَّ مَا قَضَيْتَ، فَإِنَّكَ تَقْضِي وَلَا يُقْضَى عَلَيْكَ، إِنَّهُ لَا يَذِلُّ مَنْ وَالَيْتَ، تَبَارَكْتَ رَبَّنَا وَتَعَالَيْتَ» 


"Rasulullah ﷺ mengajari saya kalimat-kalimat untuk saya baca pada qunut witir,


“Ya Allah, berilah aku hidayah bersama orang-orang yang Engkau beri hidayah; berilah aku keselamatan dunia akhirat bersama orang-orang yang Engkau beri keselamatan dunia akhirat; perhatikan dan jagalah urusan-urusanku bersama orang-orang yang Engkau perhatikan dan jaga urusannya; berkahilah aku pada apa saja yang yang Engkau berikan; jagalah aku dari kejelekan apa saja yang Engkau tetapkan; sesungguhnya tidak akan hina orang yang menjadi wali-Mu (dalam penjagaan dan pertolongan-Mu) dan tidak akan mulia orang yang Engkau musuhi; Mahaberkah Engkau, wahai Rabb kami, lagi Mahatinggi.” Shahih (Ghayah al-Muna, XVIII/118) HR. Abu Dawud (1425), at-Tirmidzi (464), an-Nasa’i (1745), Ibnu Majah (1178), Ahmad (1718)


Asy-Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah mengatakan (yang artinya),


"Hadits ini menunjukkan disyariatkannya qunut pada shalat witir. Berdasarkan pernyataan al-Hasan, 'kalimat-kalimat untuk saya baca pada qunut witir'. 


Akan tetapi apakah ada riwayat bahwa nabi melakukan qunut pada shalat witir? Jawabnya, tidak ada. Namun ketika beliau mengajarkan kepada Al-Hasan radhiyallahu 'anhu maka ini sudah cukup untuk menetapkan bahwa memang disyariatkan qunut witir. 


Bersama dengan itu, saya berpendapat untuk tidak dilakukan secara terus-menerus sampai kita mendapatkan hadits dengan ucapan dan juga secara perbuatan." (Fath Dzil Jalali wal Ikram, III/322)


Dan sebagian ulama memandang, bahwa qunut witir di malam ke 16 sampai akhir Ramadhan semakin ditekankan karena itu dilakukan berdasarkan perintah Umar bin Khatthab radhiyallahu 'anhu


Ibnu Juraij mengatakan, 


قُلْتُ لِعَطَاءٍ: الْقُنُوتُ فِي شَهْرِ رَمَضَانَ؟ قَالَ: عُمَرُ أَوَّلُ مَنْ قَنَتَ. قُلْتُ: النِّصْفُ الْآخِرُ؟ قَالَ: نَعَمْ.


"Saya bertanya kepada Atha’, 'Apakah qunut dilakukan pada bulan Ramadhan?' Beliau menjawab, 'Yang pertama kali melakukannya adalah Umar radhiallahu ‘anhu.' Ibnu Juraij berkata, 'Di pertengahan terakhir Ramadhan?' Atha’ menjawab, 'Ya.'" Hasan li ghairihi, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah


7.    Qunut Sebelum rukuk atau Setelah


Kedua-duanya boleh, karena keduanya memiliki dasar dalil. Tentang qunut sebelum rukuk, berkata Alqamah rahimahullah, 


أَنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ، وَأَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، كَانُوا يَقْنُتُونَ فِي الْوَتْرِ قَبْلَ الرُّكُوعِ


"Sesungguhnya Ibnu Mas'ud dan para sahabat nabi mereka melakukan qunut witir sebelum rukuk." Sanadnya hasan, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (6911) 


Dan tentang qunut setelah rukuk, Al-Hasan rahimahullah berkata, 


أَنَّ أُبَيًّا أَمَّ النَّاسَ فِي خِلَافَةِ عُمَرَ فَصَلَّى بِهِمِ النِّصْفَ مِنْ رَمَضَانَ، لَا يَقْنُتُ فَلَمَّا مَضَى النِّصْفُ، قَنَتَ بَعْدَ الرُّكُوعِ


"Ubay menjadi imam shalat tarawih di masa pemerintahan Umar, beliau menjadi imam sampai di pertengahan Ramadhan yang pertama dan beliau tidak qunut. Ketika sudah lewat pertengahan Ramadhan beliau melakukan qunut setelah rukuk." Hasan li ghairi, diriwayatkan Ibnu Abi Syaibah (6935)


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah juga menerangkan, 


وَأَمَّا الْقُنُوتُ: فَالنَّاسُ فِيهِ طَرَفَانِ وَوَسَطٌ: مِنْهُمْ مَنْ لَا يَرَى الْقُنُوتَ إلَّا قَبْلَ الرُّكُوعِ وَمِنْهُمْ مَنْ لَا يَرَاهُ إلَّا بَعْدَهُ. وَأَمَّا فُقَهَاءُ أَهْلِ الْحَدِيثِ كَأَحْمَدَ وَغَيْرِهِ فَيُجَوِّزُونَ كِلَا الْأَمْرَيْنِ لِمَجِيءِ السُّنَّةِ الصَّحِيحَةِ بِهِمَا. وَإِنْ اخْتَارُوا الْقُنُوتَ بَعْدَهُ؛ لِأَنَّهُ أَكْثَرُ وَأَقْيَسُ


"Dalam hal qunut (witir) ini manusia ada dua pendapat yang berseberangan dan ada satu yang pertengahan;

a. Ada yang berpendapat qunut hanya dilakukan sebelum rukuk, 

b. Ada juga yang berpendapat qunut hanya dilakukan setelah rukuk, 

c. Sedangkan para pakar fiqih ahli hadits seperti Ahmad dan yang lainnya mereka membolehkan kedua cara yang ada (sebelum ataupun sesudah rukuk). Karena keduanya ditunjukkan dalam hadits yang shahih. Meskipun mereka memilih (yang afdal) qunut setelah rukuk karena haditsnya lebih banyak dan lebih sesuai." (Majmu' al-Fatawa, XXIII/100)


Jika kita memilih yang afdal ialah setelah rukuk maka hendaklah tetap dilakukan juga yang sebelum rukuk dengan lebih jarang, dalam rangka terus menjalankan semua sunnah yang ada. Demikian pula bila kita memilih pendapat sebaliknya. 


8.    Mengangkat Tangan Sewaktu Qunut


Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menjelaskan, 


من السنة أن يرفع الإنسان يديه عند دعاء القنوت؛ لأن ذلك وارد عن رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ في قنوته حين كان يقنت في الفرائض عند النوازل ، وكذلك صح عن أمير المؤمنين عمر بن الخطاب – رضي الله عنه – رفع اليدين في قنوت الوتر ، وهو أحد الخلفاء الراشدين الذين أمرنا باتباعهم 


"Termasuk sunnah jika seseorang mengangkat kedua tangannya pada saat doa qunut, sebab hal ini telah ada di hadits Rasulullah ﷺ pada saat beliau qunut nazilah di shalat wajib. Demikian juga shahih dari Amirul Mu'minin Umar bin Khatthab radhiyallahu 'anhu bahwa beliau mengangkat kedua tangannya di qunut witir, dan beliau ialah salah satu dari Khulafa'ur Rasyidin yang kita diperintahkan untuk mengikuti mereka." (Majmu' Fatawa wa Rasa'il, XIV/136) 


9.    Apakah Mengusap Wajah Setelahnya


Imam Abu Bakr al-Baihaqi rahimahullah menerangkan, 


فأَمّا مَسحُ اليَدَينِ بالوَجهِ عندَ الفَراغِ من الدُّعاءَ فلَستُ أحفَظُه عن أحَدٍ مِنَ السَّلَفِ فى دُعاءِ القُنوتِ، وإِن كان يُروَى عن بَعضِهِم فى الدُّعاءِ خارجَ الصَّلاةِ، وقَد رُوِى فيه عن النبىِّ -صلى اللَّه عليه وسلم- حَديثٌ فيه ضَعفٌ، وهو مُستَعمَلٌ عندَ بَعضهِم خارجَ الصَّلاةِ، وأما فى الصَّلاةِ فهوَ عَمَلٌ لم يَثبُتْ بخَبَرٍ صَحيحٍ ولا أثَرٍ ثابِتٍ ولا قياسٍ، فالأولَى ألَّا يَفعَلَه، ويَقتَصرَ على ما فعَلَه السَّلَفُ -رضي اللَّه عنهم- مِن رَفعِ اليَدَينِ دونَ مَسحِهِما بالوَجهِ فى الصَّلاةِ، وبِاللَّهِ التَّوفيقُ.


"Terkait masalah mengusap wajah dengan tangan ketika selesai berdoa maka saya tidak mengetahui satupun dari kalangan salaf (terdahulu) melakukannya di doa qunut. Benar ada riwayat dari sebagian mereka mengusap wajah sehabis berdoa di luar shalat, dan telah ada juga riwayat dari nabi hadits tentang ini namun memiliki kelemahan. 


Tapi menurut sebagian ulama itu dilakukan di luar shalat. Sedangkan di dalam shalat maka ini amalan yang tidak ada dasar dari hadits dan atsar yang shahih maupun kias. Sebaiknya tidak dilakukan dan mencukupkan dengan yang dilakukan oleh salaf, yaitu mengangkat tangan namun tanpa mengusapkan tangan ke wajah ketika di dalam shalat." (As-Sunan al-Kubro, IV/157)


Wallahu a’lam bish-shawab


Ditulis oleh Ustadz Hari Ahadi, Penggalan pembahasan Risalah Fushul fish Shiyam.

Sumber: http://www.nasehatetam.net